Pasar RI Was-Was! Ada Kabar Genting dari China, Israel & PDIP
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) rebound dan kembali ke atas level psikologis 6.900 pada Selasa (17/10/2023). Setali tiga uang, rupiah juga sukses menekan dolar Amerika Serikat (AS). Namun, Surat Berharga Negara (SBN) kembali dilepas investor.
Pasar keuangan Indonesia https://lahankas138.store/ diharapkan bisa kompak mengakhiri perdagangan di zona hijau hari ini di tengah banyaknya sentimen dari data ekonomi serta panasnya suhu politik dalam negeri. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan kemarin menguat 0,63% ke 6.939,62, ditopang 284 saham naik. Sementara, sebanyak 236 saham turun, dan 241 stagnan.
IHSG yang menguat seiring cerahnya bursa saham global ditopang oleh melesatnya saham-saham teknologi terutama di Amerika Serikat (AS).
Bursa Asia menghijau, dengan Nikkei 225 Index melesat 1,20% hingga Hang Seng Hong Kong naik 0,75%. Wall Street juga kompak naik. Indeks Dow Jones terapresiasi 0,93%, S&P 500 Index bertambah 1,06%, dan Nasdaq menguat 1,20%.
Penguatan IHSG terjadi meski investor cenderung wait and see menanti keputusan suku bunga Bank Indonesia (BI) pada Kamis mendatang.
BI diproyeksikan masih akan tetap menahan suku bunganya di angka 5,75% pada Kamis mendatang. Pelaku pasar perlu mencermati hasil resmi kebijakan BI ini karena akan menentukan kestabilan mata uang rupiah dan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya.
Beralih ke Asia, China sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia dan merupakan negara dengan tujuan ekspor terbesar Indonesia diproyeksikan mengalami kemunduran perihal pertumbuhan ekonominya.
Konsensus berekspektasi bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) China berada di angka 4,4% atau lebih rendah dibandingkan kuartal-II 2023 yakni di angka 6,3%.
Perlambatan ekonomi China dapat berdampak kepada perekonomian Indonesia yang juga berpotensi melambat dan mengganggu pasar keuangan domestik.
Dari pasar mata uang, rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di saat neraca dagang mengalami surplus yang besar serta tekanan dari China.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di angka 15.710/US$ atau menguat 0,03% terhadap dolar AS. Posisi ini berkebalikan dengan pelemahan yang terjadi penutupan perdagangan kemarin (16/10/2023) sebesar 0,22%.
Sementara indeks dolar AS (DXY) pada Selasa (17/10/2023) berada di posisi 106,25 atau naik tipis dibandingkan penutupan perdagangan Senin (16/10/2023) yang ditutup di angka 106,24.
Pergerakan rupiah kemarin ditopang oleh hasil impor Indonesia mengalami kelesuan baik secara bulanan maupun tahunan serta neraca dagang yang mengalami surplus lebih besar dibandingkan periode sebelumnya.
Indonesia mencatatkan surplus US$3,42 miliar pada September 2023, atau lebih tinggi dibandingkan pada Agustus 2023 yang tercatat US$3,12 miliar.
Nilai ekspor Indonesia September 2023 mencapai US$20,76 miliar atau turun 5,63% (month to month/mtm) dan jeblok 16,17% (year on year/yoy). Nilai impor Indonesia tercatat US$17,34 miliar, turun 8,15% (mtm) dan jeblok 12,45% (yoy)
Kendati terjadi penguatan, namun tekanan terhadap mata uang Garuda tidak terhindarkan. Pasalnya selisih antara US Treasury tenor 10 tahun dengan SBN tenor 10 tahun sudah semakin tipis atau sekitar 202 basis poin (bps). Hal ini membuat tekanan jual oleh investor asing terhadap pasar keuangan domestik masih cukup kental.
Sementara itu, melihat kondisi saat ini, Bank Indonesia (BI) diproyeksikan masih akan tetap menahan suku bunganya di angka 5,75% pada Kamis (19/10/2023). Pelaku pasar perlu mencermati hasil resmi kebijakan BI ini karena akan menentukan kestabilan rupiah dan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya.
Imbal hasil SBN tenor 10 tahun ditutup di posisi 6,81%, naik dibandingkan pada penutupan hari sebelumnya yakni 6,76%. Imbal hasil yang naik menandai harga SBN yang tengah jatuh karena banyak dijual investor.