Siap-Siap Spot Jantung! Kabar Genting dari China, BI & Fed
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tergelincir pekan lalu di tengah sentimen negatif dari global, terutama China. Rupiah juga bernasib sama, takluk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Pasar keuangan RI https://panenkas138.store/ diperkirakan masih guncangan pada pekan ini. Selengkapnya mengenai proyeksi perdagangan serta sentimen pada pekan ini akan dibahas pada halaman 3 artikel ini.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG turun 0,48% dalam sepekan, ditutup di 6.859,91 pada Jumat (18/8/2023). Dalam sebulan IHSG terkoreksi 0,06% dan sejak awal tahun (year to date/YtD) naik tipis 0,14%.
Penurunan terbesar IHSG di pekan lalu terjadi pada Jumat, yakni sebesar 0,59%.
IHSG terpantau kembali melemah, setelah pada Kamis libur dalam rangka Hari Ulang Tahun Indonesia atau Hari Kemerdekaan Indonesia. Koreksi IHSG sejalan dengan pergerakan bursa saham global yang juga melemah.
Memburuknya sentimen pasar menjadi penyebab pasar saham global kembali terkoreksi. Sentimen kembali memburuk setelah dirilisnya data tenaga kerja AS dan risalah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terkait arah kebijakan moneter berikutnya.
Departemen Tenaga Kerja menunjukkan penurunan klaim pengangguran minggu lalu, menandakan pasar tenaga kerja tetap ketat
Jumlah pekerja yang mengajukan klaim pengangguran pada pekan yang berakhir pada 12 Juli 2023 sebanyak 239 ribu atau turun 11.000 dari pekan sebelumnya yakni 250.000.
Pelemahan pasar saham dalam beberapa hari terakhir juga disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi AS yang kuat yang menunjukkan bahwa The Fed kemungkinan akan menerapkan tingkat suku bunga tinggi untuk waktu yang lebih lama.
Risalah dari pertemuan The Fed Juli yang dirilis pada Rabu juga menunjukkan sebagian besar pembuat kebijakan memprioritaskan pertempuran melawan inflasi. Hal ini semakin menjauhkan ekspektasi pasar mengenai pemangkasan suku bunga.
Berdasarkan perangkat CME Fedwatch, setelah risalah diumumkan, sebanyak 87,5% pasar bertaruh The Fed akan mempertahankan suku bunga, sedangkan sisanya yakni 12,5% memperkirakan adanya kenaikan pada pertemuan September mendatang.
Ekonomi China yang dikabarkan tengah menghadapi tekanan beruntun, mulai dari lesunya konsumsi masyarakat, inflasi yang rendah atau mengalami deflasi, sektor manufaktur yang melambat, dan krisis yang menimpa beberapa sektor mulai dari properti hingga perbankan bayangan (shadow banking), menjadi kabar buruk di pekan ini.
Sementara, mata uang Tanah Air rupiah pada pekan lalu kembali mencatatkan kinerja yang kurang menggembirakan. Namun, rupiah masih lebih baik dari beberapa mata uang Asia lainnya.
Melansir dari Refinitiv pada minggu lalu, rupiah melemah 0,46% secara point-to-point (ptp) di hadapan dolar AS. Dengan ini, maka rupiah sudah melemah selama lima pekan beruntun.
Pada perdagangan Jumat (18/8/2023), rupiah pun tak berkutik banyak di hadapan The Greenback, di mana rupiah ditutup stagnan di level Rp 15.280/US$.
Dolar AS yang sedang kuat-kuatnya membuat rupiah tak berdaya selama lima pekan beruntun dan terus berada di atas level Rp 15.000/US$.
Makin kuatnya dolar AS terjadi karena masih kuatnya data tenaga kerja, naiknya kembali inflasi AS, dan kekecewaan pasar akan sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang masih akan hawkish.
Data tenaga kerja yang masih cukup kuat dibuktikan dengan data klaim pengangguran mingguan terbaru. Jumlah pekerja yang mengajukan klaim pengangguran pada pekan yang berakhir pada 12 Juli 2023 sebanyak 239 ribu atau turun 11.000 dari pekan sebelumnya yakni 250.000.
Turunnya klaim pengangguran menandai pasar tenaga kerja AS masih panas sehingga inflasi bisa sulit turun tajam.
Sebelumnya, inflasi AS sedikit meningkat pada Juli 2023 menjadi 3,2% (year-on-year/yoy), dari sebelumnya 3% pada Juni lalu atau lebih rendah daripada ekspektasi pasar yakni 3,3% yoy. Sedangkan target inflasi The Fed yakni 2% yoy.
Hal tersebut semakin menambah ketidakpastian di pasar, pasalnya The Fed melawan inflasi dengan menaikkan suku bunga. Oleh sebab itu, sikap The Fed tersebut diproyeksi pasar masih bisa ketat lagi untuk pertemuan selanjutnya di sisa akhir tahun ini.
Untuk diketahui, The Fed pada bulan lalu telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bp) ke posisi 5,25% – 5,50%. Pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) September 2023, ada peluang bagi The Fed untuk menaikkan 25 basis poin menjadi 5,50% – 5,75%.
CME Fedwatch Tool terbaru menunjukkan probabilitas kenaikan suku bunga sebesar 25 bp sebesar 11%. Namun, probabilitas yang memperkirakan The Fed menahan suku bunga acuannya mencapai 89%.
Meski masih belum mampu melawan The Greenback, tetapi rupiah sudah mulai membaik pada pekan ini. Mulai membaiknya rupiah terjadi setelah Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan Pidato Kenegaraan.
Rupiah pun menguat setelah Jokowi menyampaikan Pidato Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. Pidato Jokowi pada Rabu (16/8/2023) mampu mengangkat rupiah dari level Rp 15.300/US$1 ke level US$ 15.200/US$1.
Dalam Pidato Kenegaraan, Jokowi sangat menekankan pentingnya hilirisasi bagi Indonesia ke depan.
Penegasan tersebut sepertinya menjadi sentimen positif pelaku pasar sehingga rupiah ikut menguat. Kelanjutan hilirisasi akan menguntungkan Indonesia dalam mendongkrak nilai ekspor sehingga membantu penguatan rupiah.
Dalam Pidato Presiden Republik Indonesia Pengantar RAPBN 2024 dan Nota Keuangannya, pemerintah mengajukan asumsi nilai tukar di angka Rp15.000/US$1 untuk tahun depan.
Beralih ke pasar Surat Berharga Negara (SBN), imbal hasil SBN tenor 10 tahun melesat ke 6,49% pada Jumat pekan lalu. Posisi tersebut adalah yang tertinggi sejak 5 Mei 2023 atau tertinggi dalam tiga bulan terakhir.
Imbal hasil berkebalikan dengan harga. Kenaikan imbal hasil menandai jika SBN tengah dilepas asing sehingga harganya jeblok.
Lonjakan imbal hasil ini mengikuti melambungnya imbal hasil surat utang pemerintah AS yang sempat menyentuh 4,3% pada Kamis pekan lalu, level tertinggi dalam 16 tahun.