Rupiah Ambles, Terburuk dalam Empat Bulan! Ini Penggeraknya
Mata uang rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebagai hasil dari lonjakan inflasi di AS pekan ini. Bahkan, koreksi kali ini menjadikan kinerja rupiah yang terburuk dalam empat bulan lebih atau sejak 23 Maret 2023.
Merujuk data dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah sebesar 0,20% terhadap dolar AS, mencapai angka Rp15.210/US$ pada perdagangan terakhir pekan ini. Koreksi pekan ini menunjukkan rupiah telah melemah selama empat minggu berturut-turut.
Pekan ini menjadi https://lahan-duit.site/ periode yang sulit bagi rupiah. Pada Selasa (8/8/2023), mata uang Garuda bahkan mencapai posisi terlemahnya dalam empat bulan terakhir, yaitu Rp15.215/US$. Pelemahan ini dipicu oleh peningkatan inflasi yang signifikan di AS. Inflasi bulan Juli mencapai 3,2% (year on year/yoy), naik dari angka 3% (yoy) pada bulan Juni.
Kendati demikian, angka inflasi Juli lebih rendah dari ekspektasi pasar yang sebesar 3,3% (yoy), namun inflasi inti, yang tidak termasuk harga komoditas energi dan pangan, mencapai 4,7% (yoy) dan 0,2% (month to month/mtm) pada bulan Juli. Angka ini menunjukkan bahwa inflasi secara keseluruhan masih jauh di atas target bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang berada di kisaran 2%.
Dampak dari situasi ini adalah potensi Bank Sentral AS (The Fed) untuk mengambil sikap dovish (kebijakan moneter longgar) masih terbatas. Kebijakan moneter yang tetap kaku dari The Fed berpotensi memperkuat Dolar AS dan membuat mata uang lain, termasuk Rupiah, melemah. Suku bunga yang tinggi cenderung mendorong investor untuk memilih aset aman seperti Dolar AS.
Namun, terdapat kabar positif dari data ketenagakerjaan AS. Klaim pengangguran meningkat menjadi 248 ribu, melampaui perkiraan konsensus sebelumnya yang mencapai 230 ribu. Kenaikan ini memberikan harapan bahwa pasar tenaga kerja AS mulai menunjukkan tanda-tanda pelambatan, yang berpotensi meredakanch tekanan inflasi ke depan.
Nasib Rupiah ke Depan
Secara proyeksi, rupiah diperkirakan akan terus melemah dan diperkirakan akan bergerak dalam rentang Rp15.083 hingga Rp15.345 dalam minggu mendatang, menurut Myrdal Gunarto, Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets Maybank Indonesia.
Walau begitu, harapannya adalah perekonomian Indonesia akan tetap tumbuh solid hingga akhir tahun, dengan ekspor yang tetap kuat karena harga komoditas andalannya tidak mengalami penurunan drastis.
Sementara itu, dari segi suku bunga, Citibank merevisi proyeksi suku bunga Indonesia menjadi 5,75%, yang sebelumnya diproyeksikan akan ada pemangkasan suku bunga di bulan September 2023. Perubahan ini didasarkan pada kondisi ketidakpastian global yang masih belum stabil.
Citibank berpendapat Bank Indonesia perlu mempertahankan suku bunga pada tingkat 5,75% untuk jangka waktu lebih lama. Selain itu, Rupiah juga menghadapi tekanan karena deflasi di China dan pemangkasan peringkat perbankan AS oleh Moody’s.
Biro Statistik Nasional (NBS) China melaporkan indeks harga konsumen (IHK) terkoreksi atau deflasi 0,3% (year on year/yoy) pada Juli 2023. Angka ini juga merupakan deflasi pertama sejak Februari 2021.
Sedangkan indeks harga produsen (IHP) terlihat mengalami penurunan selama 10 bulan berturut-turut dengan kontraksi 4,4% yoy pada Juli 2023.
Sebagai informasi, ini adalah pertama kalinya ketika IHK dan IHP mencatat kontraksi secara bersamaan sejak November 2020.
Pada awal pekan ini, rupiah juga dipengaruhi sentimen rilis data neraca dagang dan ekspor-impor China dan Amerika Serikat (AS).
China merilis data neraca dagang yang mengalami kenaikan menjadi US$ 80,6 miliar atau lebih dari ekspektasi pasar US$ 70,6 miliar. Angka ini sekitar US$ 10 miliar lebih besar jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yang berada di angka US$ 70,62 miliar.
Ekspor dan impor China secara bersamaan mengalami penurunan secara tahunan. Ekspor China merosot 14,5% (year on year/yoy) ke level terendah dalam lima bulan terakhir sebesar US$ 281,76 miliar. Ekspor ke negara-negara di ASEAN pun mengalami penurunan sebesar 21,4%.
Sedangkan dari sisi impor, terjadi penurunan yang sangat drastis sebesar 12,4% yoy sebesar US$ 201,16 miliar. Angka ini lebih rendah daripada periode sebelumnya yang juga turun sebesar 6,8% yoy. Penurunan impor ini terjadi karena permintaan domestik yang memburuk.
Kondisi ekspor-impor China yang mengalami kemunduran ini tidak baik bagi Indonesia sebab China merupakan tujuan ekspor utama Indonesia. Dampaknya yakni potensi terjadinya kemerosotan nilai ekspor Indonesia ke China karena permintaan China yang memburuk.
Di sisi lain, AS juga melaporkan jika ekspor mereka mencapai US$ 247,5 miliar, terendah sejak Maret 2022. Impor tercatat US$ 313 mliar, terendah sejak November 2021. Rendahnya nilai tersebut sebenarnya bisa menjadi angin segar untuk rupiah, sebab menurunnya ekspor impor AS dapat mengurangi nilai dolar. Namun, penurunan ini juga menyebabkan potensi penurunan transaksi Indonesia ke AS, sehingga dapat menjadi pengurang devisa ke depan.
Kabar baiknya, cadangan devisa (cadev) Indonesia mengalami kenaikan dibandingkan periode sebelumnya. Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Juli 2023 tercatat sebesar US$ 137,7 miliar, meningkat US$ 200 juta dibandingkan dengan posisi pada akhir Juni 2023 sebesar US$ 137,5 miliar. Hal ini dapat menjadi angin segar bagi Rupiah agar dapat menguat ke depannya.
Namun, terdapat juga kabar buruk disampaikan Bank Indonesia (BI). Survei BI menunjukkan indeks keyakinan konsumen Indonesia (IKK) turun ke level terendah dalam empat bulan menjadi 123,5 pada Juli 2023.
Melemahnya indeks bisa menjadi sinyal buruk mengenai melemahnya konsumsi masyarakat ke depan. Padahal, konsumsi menyumbang sekitar 53% kepada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.